KARAKTER SORANG HAMBA TUHAN


KARAKTER SORANG HAMBA TUHAN

Oleh

Oscar Katanga

 

Apa itu hamba Tuhan? Alkitab mengajarkan bahwa hamba Tuhan adalah hamba-Nya Tuhan, di mana harus tunduk, taat dan patuh kepada Tuhan dan firman-Nya. Hamba Tuhan menurut pandangan Alkitab perjanjian baru, berasala dari kata δουλοω (douloõ) melayani sebagai hamba (budak). Pada zaman Perjanjian Baru, seorang budak dapat di beli atau dijual sebagai komoditi. David Watson menyatakan: “Seorang budak adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan diri sendiri. Dalam ketaatan penuh kerendahan hati ia hanya bisa berkata dan bertindak atas nama tuannya. Dalam hal ini tuannya berbicara dan bertindak melalui dia”. Benar-benar tak berdaya. Sebagai orang percaya berarti sebagai orang-orang yang telah di merdekakan dari dosa dan menjadi hamba (doulos) kebenaran.

Kata hamba dalam Perjanjian Lama yaitu עֶבֶדeved” atau “ebed”, yaitu budak, hamba, pelayan. Artinya, seseorang bekerja untuk keperluan orang lain, untuk melaksanakan kehendak orang lain. Atau ia adalah pekerja milik tuannya. Diluar Alkitab kata עֶבֶדeved” berarti budak, hamba yang melayani raja; bawahan dalam politik; keterangan tentang diri sendiri untuk menunjukkan kerendahan hati; dan hamba-hamba dalam kuil-kuil kafir. Dalam hidup keagamaan Israel kata itu dipakai untuk menunjukkan kerendahan diri seseorang dihadapan Allah.  Jadi hamba Tuhan berarti orang yang menjadi milik Allah, berbakti kepada Allah, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah sebagai panggilan hidupnya serta mengabaikan kepentingan sendiri.[1]

Menjadi seorang hamba Tuhan merupakan sebuah panggilan mulia yang datangnya dari Tuhan sendiri. Panggilan sebagai hamba Tuhan tidak sama dengan pekerjaan/profesi dibidang sekuler. Seseorang yang menjadi hamba Tuhan harus memeberitakan firman Tuhan tanpa rasa takut akan ditplak atau tidak disenangi oleh jemaat/manusia. Apapun yang diperintahkan harus disampakainnya kepada jemaat.[2] Karena tugas tugas utama hamba Tuhan adalah memeberitakan firman Tuhan, maka seorang hamba Tuhan harus benar-benar terdidik baik dalam theology, benar-benar mengenal firman Allah yang tertulis dan benar-benar menguasai isi Kitab Suci.[3]

Tuhan memang mengutus hamba-Nya, tetapi siapa yang memanggil? Jawabnya ialah bahwa Tuhan juga yang memanggil, tetapi melalui jemaat, karena jemaat adalah tubuh-Nya dan jemaat membutuhkan pelayan. Bagaimana seorang pendeta tahu bahwa dia diutus dan dipanggil Tuhan?peranan doa dalam hal ini sangat penting, sebab adalah sebuah kekeliruan jika seseorang memaksa dirinya menjadi pendeta, tetapi sebenarnya dia tidak dipanggil Tuhan untuk itu. Perasaan, doa, keyakinan, dorongan keluarga dan teman, bergaul dengan firman Tuhan setiap hati, dapat menjadi alat Tuhan untuk memperdengarkan panggilan-Nya. Tanpa panggilan Tuhan, tanpa panggilan Bahasa batin dan iman, maka peran pastoral pendeta (dan juga jabatan pelayanan yang lain seperti penatua, diakones, bendahara jemaat, dan lain-lain) hanya akan  menjadi semacam peran manajerial semata, sehingga mereka akan dengan mudah dipermainkan Iblis merusak gereja.[4]

Ciri-ciri orang yang tidak terpanggil sebagai hamba Tuhan menurut 2 Petrus pasal 2 diterangkan tentang orang-orang yang hidup bukan karena panggilan Tuhan yaitu nabi-nabi dan guru-guru palsu:

  • Ayat 1, yang tampil di tengah-tengah umat Tuhan memasukkan pengajar-pengajaran sesat yang membinasakan mencari keuntungan dari jemaat.
  • Ayat 3, menghina pemerintahan Allah.
  •  Ayat 10,  tidak pernah jemu berbuat dosa.
  •  Ayat 13, terlatih dalam keserakahan.
  •  Ayat 14, mengucapkan kata-kata congkak dan hampa.
  •  (ayat 18) menjanjikan kemerdekaan kepada orang lain.
  •  (ayat 19) pada hal mereka sendiri adalah hamba Tuhan kebinasaan.

Dalam sitem pelayan yang dipanggil jemaat, maka pelayan (hamba Tuhan) “palsu” seperti dalam 2 Petrus itu akan menghadapi jalan yang sempit.[5]

Apa yang dibutuhkan dari seorang hamba Tuhan sehingga dapat memenuhi panggilannya dalam Tuhan dan pekerjaan-Nya sesuai dengan Firman Tuhan dalam Alkitab? Yaitu karakter yang seperti Kristus yang menjadi teladan (Filipi 2:5-8). Tuhan bisa memakai semua orang yang diinginka-Nya untuk menjadi alat-Nya bahkan orang yang karakternya buruk sekalipun separti yang ada pada Simson. Namun, ada baiknya jika mengembangkan karakter seperti Yusuf; ada baiknya jika menjalani hidp dengan itegeritas.[6] Seorang ilmuan besar Albert Einstein menyatakan:

“Banyak orang mengatakan bahwa kepintranlah yang membuat seorang ilmuan besar. Namun, mereka keliru, karakterlah yang membuat seorang ilmuan besar”.

Karakter yang kuat sangat penting artinya dalam hidup dan kehidupan manusia, karena karakter tidak hanya menjadi titik poros yang mencerminkan akhlak anak bangsa, tetapi juga menjadi proses pencarian watak bangsa dan menjadi poros utama titik balik kesuksesan pembangunan peradaban bangsa.[7] Menurut Kepmendiknas, karakter adalah sebagai nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.[8] Michael Josephson pendiri Josephson Institut of Etihc di Amerika, merumuskan bahwa secara garis besar ada enam pilar karakter (the six pillars of character) yang semestinya ditumbuh kembangkan, yaitu:

  1. Kepercayaan (trustworthiness), berlaku jujur, terpercaya, sesuainya kata dengan perbuatan, berani karena benar, membangun reputasi yang baik, mencintai keluarga dan setia pada negara.
  2. Sikap hormat (respect), hormat terhadap orang lain, taat hukum, toleran dalam perbedaan, berlaku sopan dan berbahasa santun, empatik, tidak menjadi ancaman bagi orang lain, dan bersikap damai.
  3. Bertanggung jawab (responsibility), berorientasi masa depan, tekun dalam kebaikan, disiplin dan mawas diri, berpikir sebelum bertindak dan siap menerima konsekuensi tindakan, bertanggung jawab atas perkataan dan perbuatannya, menjadi contoh bagi orang lain.
  4. Bersikap adil (fairness), bertindak sesuai aturan, berpikiran terbuka dan mendengarkan orang lain, tidak mengeksploitasi orang lain, meperlakukan semua orang dengan adil.
  5. Penuh perhatian (caring), perhatian dan penuh kasih sayang, peduli terhadap orang lain, memiliki sikap memaafkan, memberi bantuan pada orang yang membutuhkan.
  6. Menjadi warga negara yang baik (citizenship), memasyarakat, mampu bekerja sama, menghormati orang lain, mencintai dan melindungi lingkungan, rela berkorban.[9]

Oleh sebab itu, betapa perlunya karakter bagi seorang hamba Tuhan, karena seorang hamba Tuhan adalah pemimpin bagi umat Tuhan. Bisa dibayangkan jika karakternya buruk, maka akan dapat menyesatkan banyak orang dari jalan Tuhan. Hamba Tuhan sebagai pemimpin rohani berarti pemimpin yang mengenal Allah secara pribadi dalam Kristus dan memimpin secara kristiani. Pemimpin rohani adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas yang benar dan tertinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah. Sedangkan sifat-sifat spiritualitas kristianinya menyebabkan ia sanggup mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk menaati dan memuliakan Allah. Sebab daya pengaruhnya bukan dari kepribadian dan ketrampilan dirinya sendiri, tetapi dari kepribadian yang diperbaharui Roh Kudus dan karunia yang dianugerahkan Roh Kudus.[10]

Bagaimana seharusnya karakter seorang hamba Tuhan itu menurut Alkitab? Dalam 1 Timotius 3:1-7 di jelaskan hamba Tuhan tentang seorang yang terpanggil menjadi seorang hamba Tuhan, yaitu sebagai berikut:

  1. Tak Bercacat
    “Tak bercacat” dalam bahasa Yunani anepileptos, adalah kata sifat yang artinya tak bercela; tak bercacat tidak pernah tertangkap melakukan kesalahan atau terbukti tidak bersalah. Tak bercacat artinya tidak ada kekurangannya, tidak ada cacatnya, lengkap dan sempurna. Secara harafiah, ungkapan ini berarti tidak ada apapun yang harus di perbaiki, yaitu seharusnya dalam kehidupannya sama sekali tidak ada yang dapat digunakan oleh iblis atau orang yang belum di selamatkan untuk mengkritik atau menyerang jemaat. Hal ini berhubungan dengan perilaku yang sudah terbukti benar, yang tak bercacat dalam kehidupan pernikahan, rumah tangga, sosial, dan usaha. Seorang penilik jemaat sebaiknya jangan sampai dituntut telah melakukan kemesuman atau perbuatan yang tidak senonoh. Sebaliknya, dia harus mempunyai reputasi tidak bercela di hadapan orang yang di dalam dan di luar gereja.
    Kata “tak bercacat” digunakan untuk suatu kedudukan yang tidak mungkin dilawan, suatu kehidupan yang tidak mungkin dicela, suatu seni atau teknik yang demikian sempurna sehingga tidak ditemukan suatu kesalahanpun di dalamnya. Seorang yang tak bercacat memiliki moral yang baik dan reputasi kerohanian yang baik. Namun perlu digarisbawahi bahwa apa yang dimaksud Paulus bukan berarti para penatua bukanlah orang berdosa, tetapi dalam perjuangan mereka dengan secara serius dan bertanggung jawab di dalam anugerah Tuhan untuk tidak hidup sembarangan, melainkan betul-betul menjaga akan karakter mereka sesuai dengan pengajaran firman Tuhan.
    Oleh karena itu, dalam kepribadian seorang hamba Tuhan, khususnya para pejabat gereja harus rendah hati dan dapat mendengar pendapat orang lain, ini suatu syarat penting bagi gembala. Melihat betapa Paulus menganggap pentingnya ajaran yang murni bagi tugas pembinaan jemaat di bidang iman maupun kelakuan hidup. Oleh sebab itu tugas seorang penatua adalah disamping memerintah jemaat, mengelolah rumah-tangga Allah, ia juga mengajar, menasehati dan menjaga kemurnian ajaran di dalam jemaat, maka ia tidak boleh cacat secara moral atau etis.
  2. Dapat menahan diri
    “Dapat menahan diri” dalam bahasa Yunani adalah nephaleos, merupakan kata sifat yang berasal dari kata “nepho” berarti “menjadi sadar”, baik, tidak mabuk, bebas dari pengaruh negatif (minuman keras); secara kiasan berarti berhati-hati, bebas dari pengaruh kehidupan buruk. Dan juga “dapat menahan diri” bisa juga berarti tidak minum anggur atau minuman keras, namun agaknya ungkapan ini digunakan sebagai suatu kiasan untuk menggambarkan kelakuan yang tidak melanggar batas-batas kesopanan, terutama dalam hal tingkah laku dan kerohanian. “Dapat menahan diri” berarti mampu mengendalikan diri. Hal ini sangat penting dapat diwujudkan oleh para hamba Tuhan. Paulus menjelaskan tentang hal ini dengan menggunakan analogi dari seorang pelari dalam suatu lomba, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari tetapi hanya seorang saja yang menjadi pemenang? karena itu berlarilah sebegitu rupa, sehingga kamu memperolehnya.”
    Kemudian Paulus menekankan nilai-nilai abadi dari penguasaan diri dan pengorbanan pribadi demi suatu hasil yang akan diperoleh. “Sebab itu aku tidak akan berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarang memukul tetapi aku melatih tubuhku dan menguasai seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” 1 Korintus 9:26-27. Sebagai pengatur rumah Allah, yang mempunya kerinduan memimpin orang lain atau jemaat sangat penting dan wajib menahan diri atau  menguasai dirinya.
  3. Bijaksana
    “Bijaksana” dalam bahasa Yunani sophron, merupakan kata sifat, dari kata “soos”, (suara, aman) dan kata “phren” adalah (pandangan atau sikap batin tentang apa yang yang mengatur kehidupan) “pheren” akar kata dari “diafragma”, (organ dalam otot yang mengatur kehidupan fisik, mengontrol pernapasan dan detak jantung). Jadi, sophron berarti, orang yang tidak memerintahkan dirinya sendiri, melainkan diperintahkan oleh Allah, selalu berhati-hati, menjaga diri; sederhana, murni. Kata “bijaksana” menurut terjamahan King James Version adalah “sober” yang artinya, ketertiban, waras, dalam indera seseorang; membatasi keinginan dan dorongan seseorang, mengendalikan diri. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “bijaksana” artinya, selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; pandai dan hati-hati (cermat, teliti dsb) apabila menghadapi kesulitan.
  4. Sopan
    “Sopan” dalam bahasa Yunani, kosmios, adalah kata sifat yang berarti tertib, berbudi luhur, layak, sederhana, tertata baik. Beradap tentang tingkahlaku, tutur kata dan pakaian. Wiersbe, mengungkapkan bahwa, “Seorang gembala sidang harus teratur dalam pikiran dan kehidupannya, juga dalam pengajaran dan pemberitaannya. Kata Yunani yang diterjemahkan menjadi “sopan” dalam ayat ini sama artinya dengan kata “pantas” dalam 1 Timotius 2:9, yang menunjuk kepada pakaian perempuan. Pusat perhatian ayat ini diletakan pada keteraturan serta keadaan yang bebas dari kekacauan pikiran. Sedangkan kata “sopan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya, hormat dan takzim, tertip menurut adat yang baik: dengan mempersilahkan tamunya duduk; kepada orang tua kita wajib berlaku; beradap tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian dan sebagainya; tahu adat, baik budi bahasanya ia berlaku amat kepada kedua orang tuanya, baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul).
  5. Cakap mengajar
    “Cakap mengajar” dalam bahasa Yunani didaktikos, merupakan kata sifat yang berarti mampu mengajar, pandai mengajar atau memiliki kemampuan dan kepandaian dalam pengajaran. Disini pandai mengajar menekankan tugas pemimpin jemaat sebagai orang yang mampu mengajarkan ajaran yang benar serta membuktikan kesalahan ajaran-ajaran sesat. Ungkapan ini digunakan lagi dalam 2 Timotius 2:24. Cara lain untuk mengungkapannya ialah “mampu mengajarkan orang percaya dengan baik”. Kata mengajar διδάσκo (didasko), mengandung arti, mengabarkan, memanggil untuk mengambil keputusan menyapa orang dengan kehendak Allah bagi mereka secara utuh.
  6. Bukan peminum
    “Peminum” bisa diungkapkan menjadi pemabuk (BIS), mabuk merupakan salah satu kebiasaan buruk masyarakat waktu itu. Dalam dunia Perjanjian Baru. Oleh karena itu seorang penilik jemaat harus memberi contoh yang baik dalam segala hal kepada jemaat, tidak boleh seorang peminum. Paulus menekankan pentingnya reputasi penatua di Efesus di hadapan orang-orang dunia. Yang menjadi penekanan Paulus bukan saja agar para penatua itu memiliki nilai-nilai Kristiani. Lebih dari itu, ia ingin agar hidup para pemimpin Kristen di Efesus merefleksikan idealisme tertinggi dari moralisme Yunani pada saat itu. Yang Paulus kehendaki adalah agar kesaksian hidup mereka dapat menjadi standar moral dan teladan bagi orang-orang dunia. Oleh sebab itu seorang penatua tidak boleh seorang pemabuk minuman keras.
  7. Bukan pemarah
    “Bukan pemarah” dalam bahasa Yunani, me plektes, yang berarti bukan pemarah, kasar atau suka bertengkar. Kata (plektes) adalah kata benda yang menggambarkan sifat orang yang cepat marah dan yang tidak ragu-ragu menggunakan kekerasan terhadap orang yang mengganggunya atau orang kontroversial, petarung. Jadi (me plektes) artinya orang yang bukan pemarah melainkan peramah, sabar atau cermat dan tidak suka bertengkar. Karakter seorang penatua tidak boleh suka bertengkar. Seperti yang diungkapkan oleh Blaiklock bahwa, “Orang yang bisa meninju atau memukul hambanya tidak layak menjadi pekerja Kristen. Ia bukan penyombong yang suka berkelahi, ia bukanlah jagoan yang angkuh atau cepat membalas dendam.” Jadi seorang penatua harus bisa mengendalikan diri pada saat berkonflik dan senantiasa memiliki hati yang pendamai bukan pemarah.
  8. Tidak sombong
    “Tidak sombong” me tuphoo, menggunakan kata “tuphoo” berasal dari kata kerja tupho, yang artinya ”pudar nyala apinya” (Mat. 10:20), harfiah “berasap”. Sombong ibarat asap yang membumbung ke atas atau tinggi hati. Kata “tuphoo”diterjemahkan di bagian lain dalam Alkitab LAI sebagai berlagak tahu (1 Tim. 6:4), dan tidak berpikir panjang (2 Tim. 3:4). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia “sombong” artinya, menghargai diri secara berlebihan, congkak. Maka kata “tidak sombong” artinya renda hati, sederhana, lemah-lembut atau bersahaja. Disini penulis menyimpulkan bahwa seorang hamba Tuhan seharusnya tidak angkuh, congkak, melainkan rendah hati dan selalu bersahaja dan bersikap lemah-lembut terhadap jemaat serta masyarakat umum dalam kehidupan sosial.
  9. Mempunyai nama baik
    “Mempunyai nama baik” dalam bahasa Yunani marturia merupakan kata benda yang berarti kesaksian, bukti nama baik, reputasi, tidak jahat tentang kelakukan budipekerti dan keturunan. Syarat terakhir bagi orang yang ingin menduduki jabatan dalam jemaat adalah “hendaklah ia juga mempunyai nama baik diluar jemaat”. Yang dimaksud dengan diluar jemaat kemungkinan besar adalah dikalangan orang-orang bukan Kristen. BIMK, menerjemahkannya menjadi “ia haruslah orang yang mempunyai nama baik dalam masyarakat.” Kelakuan seorang penilik jemaat haruslah sedemikian baiknya, supaya orang-orang bukan Kristen pun terkesan oleh kelakuannya yang tak bercela dalam bahasa tertentu bisa menyusun ulang menjadi “dia haruslah orang yang dihargai atau disukai oleh orang-orang yang tidak percaya pada Yesus.”
    Jika orang itu tidak memenuhi syarat ini ada kemungkinan digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis. Ia akan digugat oleh orang lain diluar jemaat yang mungkin akan mengatakan hal-hal yang jelek tentang para pemimpin jemaat, misalnya menuduhnya sebagai orang munafik. Digugat orang, tidak berarti bahwa orang itu di bawa ke pengadilan tetapi orang lain “mengatakan hal yang buruk tetang dia”. Bisa juga digunakan kiasan “supaya ia tidak kehilangan integritas di hadapan orang lain. Jadi penulis menyimpulkan bahwa marturia artinya, bukti yang memberikan kesaksian terhadap kelakuan seseorang.[11]
    Bagaimana proses pembentukan karakter terjadi? Menurut Wagito proses pembentukan karakter melalui tiga cara yaitu:
     

  • Kondisioning atau pembiasaan, dengan membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut.
  • Pengertian (insight), cara ini mementingkan pengertian, dengan adanya pengertian mengenai perilaku akan terbentuklah perilaku.
  • Model, dalam hal ini perilaku terbentuk karena adanya model atau teladan yang ditiru.[12]
    Bagaimana dengan pembentukan karakter seorang hamba Tuhan? Adapun pembentukan karakter seorang hamba Tuhan tidak terjadi begitu saja atau tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan memiliki sumber pembentukan yaitu berasal dari Roh Kudus, Firman Tuhan atau Alkitab serta lingkungan budaya. Ketiga elemen itu sangat mempengaruhi pembentukan karakter seorang hamba Tuhan.



[1] Disadur dari internet tgl 21 Juli 2015 : https://nofanolozai.blogspot.com/2016/07/pengertian-hamba-tuhan.html
[2] Pdt. Yusuf Eko basuki, S.Th., Pertumbuhan Iman Yang Sempurna, (Yogyakarta: Garudhawaca Online Books, 2014), hal. 11
[3] John Piper, Supermasi Allah Dalam Kotbah, (Surabaya:Momentum, 2008), hal. 88
[4] Bungaran Antonius Simanjuntak, Karakter Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hal.22
[5] Ibid. 22
[6] Sidik Nugroho, 336 Reflections of life, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2012), hal. 166
[7] Diunduh pada tgl 21 juli 2018 di: Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi Kesuksesan Peradaban Bangsa, http://www.dikti.go.id.
[8] Diunduh pada tgl 21 juli 2018 di: Depdiknas, 2003, Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, www.depdiknas.go.id
[9] Diunduh pada tgl 21 juli 2018 di: Michael Josepshon, The Six Pillars of Character, http://charactercounts. org/sixpillars.html.
[11] Ibid.
[12] Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 2004), hal. 79

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENUJU KEESAAN GEREJA

NATUR GEREJA