DESA LAILUNGGI KEC. PINU PAHAR KAB. SUMBA TIMUR


SUMBA TIMUR

 

A. SEJARAH PULAU SUMBA

Menurut prasejarah, pulau Sumba telah didatangi dan dihuni oleh beberapa golongan sebagai berikut: Golongan I: Tau Paita (penduduk Melayu Purba). Ungkapan Tau Paita (Tau: orang, Paita: pahit; MbR: kata Paita berasal dari Majapahit) berarti pendatang pertama ketika belum ada penghuninya (Paita). Golongan ini badannya tinggi, berambut keriting, dan sadis. Juga ada semacam manusia yang terdiri dari dua jenis: Golongan II, badan besar, tegak berjalan, berbulu, rambut keriting. Sedangkan wanitanya besar dan susunya panjang, disebut juga golongan manusia Milimungga (dialek Mangili). Minimongga berarti orang hutan raksasa (bahasa Latin). Golongan III, berbadan besar dan berbulu baik pria maupun wanita, berjalan bungkuk dengan kedua tangan dan kaki merangkak (pangga bei), julukannya: Meu Rumba (kucing hutan raksasa).

Sebagai kenangan Pulau Sumba disebut Tana Humba, karena itu tidak ada suku atau kabihu Humba, hanya ada sebutan suku atau kabihu Matolangu Tau Humba (MbR: disebut suku atau marga atau kabihu Matolangu Tau Humba untuk membedakan dengan marga atau kabihu Matolangu Tau Hawu yang berada di Sabu, maka disebut Udu Do Matola. Selain itu ada juga Udu Do Melagu. Menurut Pdt. S.H. Dara (pendeta GKS Waingapu), dahulu ada orang Sabu yang terdampar di pantai selatan Pulau Sumba. Setelah lama di tempat itu kemudian melamar dan menikah dengan seorang gadis Sumba. Karena tidak dapat membayar belis maka ia dituntut harus menetap di Sumba. Ia memohon dengan sangat agar dikasihani (pamilangu eti). Ia bersedia mentaati tuntutan keluarga pihak wanita tetapi nama kabihunya tetap dipertahankan dan pihak wanita menyetujuinya. Oleh sebab itu, ada kabihu Malanggu (dialek Sumba) di Malanggu Tabundungu. Tetapi ada juga Udu Do Melagu yang dari Sabu antara lain Bapak Piter Dao Riwu alias Ama Isak di Kandara Payeti (Waingapu).

Golongan IV adalah suku/marga/kabihu Damaru Taluku yaitu suku-suku yang berasal dari Damar dan Maluku. Dalam buku Kertagama menyebutkan bahwa pulau-pulau di sebelah timur Pulau Jawa umumnya disebut Pulau Damar atau Maluku.

Disamping suku Damaru Taluku, terdapat orang Bugis (Tau Bunggihu), orang Buton (Tau Mbutungu), orang Bajo (Tau Banju Lindingu, artinya orang Bajo yang mengapung) yang hidup di atas sampan atau perahu di laut.

Kita lanjutkan tentang pendaratan oleh suku yang ada sekarang ini yaitu golongan aliran Marapu. Dalam pendaratan, diatur strategi pengepungan Tana Humba sebagai berikut: Kelompok I mendarat di Haharu Malai Kadanggu Lindi Watu, terdiri dari dua rombongan. Rombongan I terdiri dari 8 buah rakit raksasa, 8 x 4 suku/kabihu = 32 kabihu/suku/marga dibawah pimpinan Umbu Walu Mandoku Walu Mandnga, Walu Haharu I Njata I Walu Njongu I Kuhi I Watu, I Karakapu I Kababa (suku/kabihu Kanatangu), Ondangu Ratu Djawa Karanja Rowa Ratu (suku/kabihu Karunggu Watu) dan Hili Baba Hili Ndahi (suku/kabihu Ana Maeri). Kelompok II terdiri dari tujuh buah rakit raksasa. 7 x 4 suku/ksbihu = 28 suku/kabihu besar (karonggu), dibawah pimpinan Anda Mangu Langu Meta Mangu Ndolungu didampingi oleh Mahumbu Mambua, Umbu Rere Ana Lodu Rambu Reri Ana Wulangu, i nyamba i Hawungu i Ratu i Nggai, Pongo i Kawa Nggodu i Laki, i Tla i Nla.

Jumlah kelompok terakhir yang mendiami Tana Humba hingga saat ini adalah 9 jabatan rohani (9 x 4 buah rakit = 36 buah rakit) ditumpang oleh 9 x 4 suku/kabihu = 144 suku/kabihu. Dalam sejarah perkembangan kabihu/suku, ada yang musnah dan ada yang bertambah karena dalam satu suku orang bersaudara membentuk suku baru tersendiri akibat pertentangan gagasan. Menurut penelitian sejak tahun 1949 sampai 1980, di Sumba Timur terdapat sekitar 200 kabihu/suku dan nama Marapu sekitar 150 Marapu karena ada kabihu/suku yang pecah dari suku asalnya tetapi nama leluhurnya tetap diakui dalam suku yang dibentuk baru.

B. SUMBA TIMUR

Pulau Sumba berada di Indonesia bagian tengah tepatnya di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Sumba memiliki 4 kabupaten antara lain: Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tenggah.

 


Peta Indonesia

 

 


Peta Pulau Sumba dengan 4 kabupaten

 

 

Sumba Timur merupakan kabupaten yang paling luas wilayahnya dari ketiga kabupaten di pulau Sumba. Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur. Kota tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor. Kabupaten Sumba Timur dibagi menjadi 22 kecamatan, yaitu: Haharu, Kahaungu Eti, Kambata Mapambuhang, Kambera, Kanatang, Karera, Katala Hamu, Kota Waingapu, Lewa, Lewa Tidahu, Mahu, Matawai Lapau, Ngadu Ngala, Nggaha Oriangu, Paberiwai, Pahunga Lodu, Pandawai, Pinu Pahar, Rindi, Tabundung, Umalulu, Wulla Waijelu.

Jumlah Penduduk Kabupaten Sumba Timur (2002) adalah 190.214 jiwa atau dengan kepadatan rata-rata 27 jiwa/km². Kepadatan tertinggi di Kecamatan Waingapu, yaitu 1.049 jiwa/km², sedang kepadatan terendah ada di Kecamatan Haharu, yaitu 13 jiwa/km². Disamping orang Sumba Timur asli juga terdapat orang Sabu, keturunan Tionghoa, Arab, Bugis, Jawa dan penduduk yang berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur lainnya. Bahasa daerah yang digunakan adalah Bahasa Sumba Kambera. Sebagian besar penduduk di kabupaten ini.

Kondisi topografi Sumba Timur secara umum datar (di daerah pesisir), landai sampai bergelombang (wilayah dataran rendah <100 meter) dan berbukit (pegunungan). Daerah dengan ketinggian di atas 1000 meter hanya sedikit di wilayah perbukitan dan gunung. Lahan pertanian terutama di dataran pantai utara yang memiliki cukup air di permukaan maupun sungai-sungai besar. Setidaknya terdapat 88 sungai dan mata air yang tidak kering di musim kemarau.

 

C. KARAKTERISTIK DAN KEPERCAYAAN

Pulau Sumba pada umumnya didiami oleh suku Sumba. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Sumba Timur sekitar 234.642 jiwa. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Walaupun pada masa sekarang orang Sumba sudah banyak yang memeluk agama Kristen dan Islam, akan tetapi yang masih terikat kepada kepercayaan asli juga cukup banyak. Agama warisan kakek moyang orang Sumba disebut marapu, lengkapnya marapu humba (agama leluhur yang asli). Mereka mengenal banyak upacara seputar lingkaran hidup, terutama upacara-upacara yang berkaitan dengan kematian dan kesuburan tanah. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba asli. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.

Disamping orang Sumba asli juga terdapat orang Sabu, keturunan Tionghoa, Arab, Bugis, Bima, Jawa dan penduduk yang berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur lainnya. Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Masyarakat Sumba secara rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid. Sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu dan agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Kaum muslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di sepanjang kawasan pesisir.

Diperkirakan, komposisi penganut agama di Pulau Sumba saat ini adalah sebagai berikut:

  1. Kristen Protestan:                   55%
  2. Marapu:                                   20%
  3. Katolik                                     15%
  4. Islam                                       10%

D. MATA PENCARIAN

Mata pencaharian utama mereka adalah bertanam di ladang dan sedikit di sawah serta memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kuda. Masyarakat ini terkenal pula oleh hasil tenunan tradisionalnya yang dikejakan sebagai mata pencaharian sampingan. Selain menganyam barang-barang dari pandan dan bambu, mereka juga membuat barang-barang perhiasan dari tulang dan tanduk kerbau, serta peralatan dari besi.

 

 

E. TRADISI

Masyarakat Sumba Timur memiliki beberapa tradisi adat istiadat dari sejak zaman dahulu hingga yang terpelihara sampai sekarang ini, antara lain.

  1. Pernikahan
    sampai saat ini, seorang pemuda Sumba yang ingin melamar seorang gadis Sumba, harus menyediakan sejumlah kuda sebagai belis (mas kawin). Jumlah kuda berkisar dari satu ekor sampai ratusan, sangat bergantung dari status sosial laki-laki dan perempuannya. Semakin tinggi tingkat status sosial seseorang, semakin banyak kuda dan harta (anahita atau kalung Sumba dan kain-kain Sumba) yang harus disediakan. Namun kuda-kuda itu tidak dibayar putus. Artinya, dibayar secara bertahap, sesuai dengan aturan adat.
    Bila sebuah keluarga sudah menyetujui hubungan antara anak perempuannya dengan seorang laki-laki, maka keluarga perempuan tersebut akan mengundang keluarga besarnya untuk menyampaikan bahwa ada laki-laki yang menginkan anak perempuan mereka. Bila keluarga besar pihak perempuan sudah menyetujui, maka pihak laki-laki mulai mempersiapkan diri.
    Mamuli juga merupakan salah satu belis (Mahar) saat melamar gadis Sumba. Perkawinan merupakan salah satu tahapan penting dalam siklus hidup seseorang. Melalui perkawinan masa remaja ditinggalkan, kedupan dewasa dengan segala hak dan tanggungjawab dimulai, dan regenerasi dilanjutkan. Dalam masyarakat komunal perkawinan bukan sekedar pembentukan keluarga baru tapi merupakan penyatuan keluarga besar.
    https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX4vUKu63HFIQ1mE99Du1wSS4aBe5MsYVm59azPjGJscZm3k6frRgt86c0lbddZCfVIY3HQ5Ov5-Lh_UlPmgMsquqqOJV7ml5NLE-3aYqWLmbTczC63LkB_Y6pjzRMLJ8LXvHCvRLdDEJX/s1600/mamuli.jpg
                                                                       Mamuli
     
  2. Upacara Kematian
    Dahulu dalam kepercayaan Marapu, ketika seorang raja meninggal dunia tidak hanya hewan (biasanya hewan kerbau) yang dikurbankan dalam jumlah yang tidak sedikit (15-20an ekor bahkan lebih) tetapi ada juga manusia yang dikurbankan (biasanya seorang hamba yang sudah mengabdi kepada raja sejak dari lahir secara turun temurun) dengan tujuan agar raja tersebut ada yang menemani di Surga dan melayaninya (sekarang hal seperti itu sudah dilarang oleh pemerintah setempat untuk tidak mengurbankan manusia). Ketika hamba itu sedang berada di hutan atau dia sedang dalam keadaan sendiri, dia dibunuh oleh para pengawal raja tanpa di ketahui oleh siapapun, kepalanya dimakamkan bersama dengan mayat raja.
    Kalau orang Sumba yang menganut kepercayaan asli Sumba yaitu Marapu, mayat tidak dimakamkan seperti dikubur (pengecualian seorang raja), tetapi mayat tersebut disimpan bahkan sampai bertahun-tahun, dilakukan penyembelihan ternak kerbau dan kuda dalam jumlah besar (tergantung status sosial) sebagai sesaji pengiring penguburan. Upacara ini terdiri dari dua tahap, pertama jenazah dibungkus dengan kain berlapis-lapis lalu diletakkan dalam peti kayu dengan diameter 1,50 cm (pada jaman dahulu tidak menggunakan peti berbahan kayu, melainkan menggunakan kulit kerbau yang telah dikeringkan).
     
    Jenazah diletakkan dalam posisi jongkok (seperti posisi janin dalam rahim ibu, yang memiliki makna “Lahir Baru”) lalu ditempatkan dalam rumah adat sambil menantikan upacara berikutnya. Jenazah dijaga oleh Papanggang/Ata Ngandi (Hamba Bawaan) yang juga berperan sebagai mediator dengan sang arwah. Sehari sebelum berakhirnya tahap pertama diadakan upacara Pahadang yang dipimpin oleh Ratu (Pendeta Marapu). Sebelum tahap kedua, batu kubur sudah disiapkan dengan ukuran tergantung status sosial. Batu tersebut harus ditarik dari luar kampung yang diawali dan diakhiri dengan upacara khusus. Jenazah diusung dan diarak dalam suatu prosesi sambil diiringi oleh arakan kuda berhias yang ditunggangi oleh hambanya (Ata Ngandi) sampai ketempat pemakaman jenazah ditempatkan dalam kubur batu megalit. Anda dapat melihatnya di Kampung Prailiu, Pau dan Praiyawang, serta kampung-kampung tradisional lainnya.

           

Kuburan Suku Sumba Timur

 

  1. Pahapa
    Makan siri, pinang dan kapur (Pahapa) merupakan sebuah tradisi masyarakat Sumba untuk menyambut tamu yang datang ke rumah dan makan Happa sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sumba sehari-hari sejak dahulu. Setiap orang yang bertamu di ke rumah orang sumba wajib makan pahapa sebagai tanda dia diterima di rumah tersebut.

           

                                                                                 Pahapa

 

F. ROH YANG MENGUASAI SUMBA TIMUR

Setiap wilayah atau daerah pasti memiliki roh yang menguasai tempat itu dang tujuan utama agar orang-orang/masyarakat di tempat hidup dalam kegelapan dan pada akhirnya mati binasa serta agar mereka tidak dapat menegnal kebenaran yang sejati. Roh-roh itu menjadikan wilayah atau daerah tersebut terkutuk. Di pulau Sumba secara keseluruhan pun demikian, ada beberapa roh yang berkuasa dan bekerja dari dahulu hingga saat ini, antara lain:

  1. Roh perbudakan
  2. Roh kemiskinan
  3. Roh kebodohan
  4. Roh agamawi
  5. Roh Penyembahan berhala
  6. Roh Okultisme (santet)
  7. Roh sumpah serapah
  8. Roh perzinahan
  9. Roh perceraian
  10. Roh kemalasan
     
     

G. DESA LAILUNGGI
Desa Lailunggi terletak di kecamatan Pinu Pahar kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jarak dari ibu kota yaitu Wangapu ke desa ini sekitar 41,9 km, tetapi jika mengikuti jalur jalan raya maka akan menempuh jarak sekitar 150 km ke arah Melolo.


 Peta Kabupaten Sumba Timur

 


Peta Kecamatan Pinu Pahar

Di Kecamatan Pinu Pahar terdapat enam desa dan pusat Kecamatannya berada di desa Lailunggi. Desa lailunggi, sudah semakin maju dari tahun ke tahun, itu terbukti dengan masuknya listrik di desa ini. Untuk berkomunikasi dengan masyarakat di desa ini sduah bisa menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun tidak semua menguasai dengan baik.        

Agama mayoritas di desa Lailunggi adalah Kristen Protestan dan hampir tidak ada lagi yang memeluk agama suku yaitu Marapu, walaupun demikian kehidupan rohani masyarakat di desa ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan jika dilihat dari sudut kebenaran firman Tuhan. Mereka hanya menjalankan kewajiban agama saja atau dengan kata lain hanya Kristen Kartu Tanda Penduduk (KTP). Itu terlihat dari kehudupan sehari-hari masyarakatnya yang tidak mengalami pertumbuhan rohani yang berarti   dari generasi yang terdahulu ketika memeluk agama Kristen hingga generasi yang sekarang ini.

            Desa ini mempunyai pantai-pantai yang indah, hanya saja kurang terekspos oleh dunia luar karena tempatnya terpencil dan jalan untuk menuju ke sana kurang begitu baik dari ibu kota Waingapu. Pantai di desa ini sangat cocok untuk di jadikan untuk objek wisata. Selain itu hampir sebagian besar masyarakat di desa ini memiliki mata pencarian sebagai nelayan dan sebagiannya berkebun serta bertani.


Salah satu pantai di desa Lailunggi


Para nelayan sedang menangkap ikan teri

Masyarakat di desa ini cukup terbuka kepada siapa saja yang datang untuk berkunjung, tetapi mereka cukup tertutup untuk keyakinan baru yang mau masuk ke desa ini. Antara masyarakat yang satu dengan yang lainya saling mengenal dan jika ada acara di suatu rumah maka mereka akan bergotong royong saling membantu.

KOSA KATA UMUM DALAM BAHASA SUMBA TIMUR

No
Bahasa Sumba Timur
Arti
1
Miri
Tuhan
2
Yehu
Yesus
3
Umbu
Laki-laki
4
Rambu
Wanita
5
Nyungga
Aku
6
Nyumu
Kamu
7
Umma
Rumah
8
Ngangu
Makan
9
Unnung
Minum
10
Wai
Air
11
Uhu
nasi
12
Dihu
Mandi
13
Katuda
Tidur
14
Njara
Kuda
15
La Nggi
Di mana, ke mana
16
Luku
Sunga/Kali
17
Anda
Jalan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARAKTER SORANG HAMBA TUHAN

MENUJU KEESAAN GEREJA

NATUR GEREJA