INJIL DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA


INJIL DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA

 

  1. LATAR BELAKANG
                Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya. Keberagaman budaya, ras, suku, bahasa dan agama menjadi warna unik bagi bangsa Indonesia. Realitas keberagaman tersebut merupakan ciri khas bangsa yang tidak dapat dipungkiri lagi, melainkan harus diakui, dihargai dan dilestarikan. Budaya menjadi kekayaan bangsa yang harus dijaga oleh semua masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan keberagaman budaya, masyarakat Indonesia juga memiliki keberagaman agama misalnya Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, serta agama lokal masing-masing daerah. Agama merupakan bagian dari keberagaman budaya yang menjadi realitas bangsa Indonesia.
    Realitas bangsa yang memiliki keberagaman budaya tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi orang Kristen, yang juga memiliki tugas dan Amanat Agung yang diberikan Yesus sebelum Ia terangkat ke surga kepada setiap umat-Nya yang percaya. Matius 28: 19-20 mengungkapkan kepada setiap umat yang percaya kepada Kristus, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan Baptislah mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Ku perintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Ayat tersebut sering kali menjadi landasan teologis bagi para pembawa Injil untuk memberitakan Injil kepada semua orang.
    Hal yang sangat menarik untuk dibahas dalam tulisan ini, Penulis mempunyai pendapat bahwa Injil merupakan Wahyu yang memiliki budaya dan sudah menyatu dengan setiap nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Sedangkan, Injil diberitakan juga kepada masyarakat yang juga memiliki budaya. Tulisan ini akan membahas secara dasar mengenai Injil dan Keberagaman budaya, dimana akan menjadi dasar bagi orang percaya yang akan menyampaikan Injil di tengah keberagaman budaya namun tanpa menghilangkan esensi Injil yang diberitakan.
     
  2. INJIL DAN BUDAYA

  1. Injil dan Misi  
    Injil adalah Firman Allah yang dinyatakan-Nya dalam wujud Pribadi Yesus itu sendiri. Injil juga menjadi identitas dan kehidupan bagi umat yang percaya kepadaNya. Namun Injil juga menjadi Amanat Agung untuk menjalankan misi daripada-Nya, seperti yang sudah diungkapkan dalam Matius 28:19-20.
    Prinsip-prinsip  dalam  penerapannya  yaitu:

  1. Injil  yang satu akan selalu beroperasi lintas budaya yang diekspresikan  dalam  Alkitab dengan terminologi budaya;
  2. Sasaran  Injil yang satu adalah manusia yang multidimensi sebagai makhluk rohani, budaya, sosial,  dan  makhluk ekonomi.  Sama  halnya dengan  Injil  yang  membebaskan  secara  utuh,  maka pelayanan  Injil  pun  harus  dilaksanakan  secara  utuh menjawab seluruh kehidupan manusia dalam segala aspek, secara prioritas dan berimbang.
     

  1. Budaya dan Kebudayaan
           Menurut Prof. Koentjaraningrat, kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, dalam bentuk jamaknya buddhi artinya roh atau akal dan daya, kuasa atau kekuatan. Sehingga kebudayaan dapat berarti segala sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia. Sedangkan kata kultur, berasal dari kata kerja Latin colo, kolere artinya membuat, mengolah, mengerjakan, menghias, mendiami.[1] Jadi kebudayaan merupakan segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh masyarakat dalam konteks kehidupannya secara utuh. Sehingga kebudayaan memiliki makna yang sangat luas dan seolah tidak ada batasannya.
    Makna kebudayaan menjadi jauh lebih saksama kalau kita mulai memperhatikan detailnya. Walaupun menggunakan istilah-istilah yang berbeda dan beragam kategori kebanyakan ahli kebudayaan menemukan tiga komponen dasar: kepercayaan, nilai, dan bentuk lahiriah.

  1. Kepercayaan-kepercayaan
    Kepercayaan-kepercayaan sering disebut sebagai pandangan dunia yang dimiliki oleh suatu kebudayaan atau masyarakat. Meliputi suatu tafsiran yang kurang lebih koheren mengenai keberadaan manusia dan berusaha menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang hakiki untuk menemukan arti dari pengalaman, tradisi, sejarah, dan hubungan alam. Kepercayaan-kepercayaan berhubungan dengan perhatian-perhatian utama dari kehidupan:

  • Kemanusiaan yang sama.
  • Perbedaan-perbedaan manusia.
  • Penderitaan.
  • Keberhasilan dan kegagalan
  • Makna hidup.

Keberadaan manusia tidak mungkin tanpa kepercayaan begitulah cara manusia berfungsi. Landasan teoritis yang diatasnya kita membangun pengertian apa yang sah dan yang tidak sah, apa yang layak dan tidak layak. Kepercayaan-kepercayaan terdapat dibalik lambang ritual, betapa hati-hati ataupun berlebihan yang menandakan kejadian-kejadian signifikan dalam kehidupan atau masyarakat.

  1. Nilai-nilai
    Nilai-nilai merupakan pada patokan dan asas moral yang diterima atau yang tidak ditoleransi oleh individu atau masyarakat. Fungsinya adalah untuk membenarkan cara-cara bertingkahlaku atau gaya hidup yang khusus. Nilai-nilai pun menentukan berbagai kenyataan, seperti kedudukan perempuan dalam masyarakat, kepemilikan harta benda, apakah penanti atau melarang hukum, pola-pola hubungan seksual, perkawinan, sikap terhadap lingkungan hidup, pandangan terhadap pekerjaan, dan waktu senggang. Makna peran hukum demi ketertiban dengan pandangan yang mengutamakan kebebasan dari hukum atau dalam kontrofersi mengenai aborsi, antara para pelobi pro/pilihan dan para pelobi pro/kehidupan. Yang menjadi nilai tertinggi adalah masyarakat mentoleransi kepercayaan dan gaya hidup saya yang relative selama itu tidak mengganggu komitmen terhadap nilai mutlak dari hak-hak asasi manusia.
  2. Bentuk-bentuk Lahiriah
    Ini merupakan komponen kebudayaan yang timbul dalam pikiran kebanyakkan orang bila kata itu digunakan. Bentuk-bentuk lahiriah kebudayaan adalah semua ungkapan dari kepercayaan-kepercayaan dan nilai-niali kita yang mengelilingi kita dan yang kita terima begitu saja sebab kita terbenam didalamnya. Dari antaranya yang paling mendasar adalah bahasa (Kosakata, morfologi, susunan kalimat, peribahasa, dan pemakaian bahasa prokem). Akhirnya ada lembaga-lembaga, yang disebut tulang punggung masyarakat, seperti keluarga, hukum, sistem pendidikan dan struktur ekonomi. Kebudayaan dinyatakan paling menonjol dalam perilaku orang dan dalam produk yang mereka ciptakan itu diperkokoh oleh lambang-lambang tertentu, pola-pola dan sistem-sistem.
          

  1.  PERJUMPAAN INJIL DAN BUDAYA
    Pada hakikatnya budaya berbicara tentang seluruh aspek hidup manusia. Semua kehidupan manusia berkaitan dengan agama dan budaya, seperti misalnya pakaian, makanan, musik, bacaan/ buku, ekonomi, pilitik, dan sebagainya. Oleh karena budaya menyangkut seluruh hidup manusia, maka sering kali timbul permasalahan antara budaya dan agama. Permasalahan akan tampak semakin kompleks sebab agama itu sendiri juga memiliki budaya. Sama halnya dengan Kekristenan, dimana Kekristenan membawa budayanya.  
    Seperti kisah kelahiran Yesus yang sebagai orang Yahudi di Palestina pada abad pertama dengan bahasa Aram sebagai bahasa ibu. Yusuf, ayahnya seorang tukang kayu, dan ada kemungkinan besar yang terjadi bahwa Yesus pun belajar dan memperoleh keterampilan untuk membuat barang-barang dengan cara yang lazim bagi orang Nazaret. Yesus lahir sebagai orang Yahudi dan mendapat pendidikan dalam hukum taurat. Ia juga turut serta dalam perayaan-perayaan orang Yahudi, misalnya bar mitsvah, beribadah dalam sinagoge, menguasai sejarah orang Yahudi. Allah menjadi manusia pada saat tertentu dalam sejarah di suatu lokasi geografis yang khusus (inkarnasi) merupakan salah satu kunci untuk memahami hubungan antara Injil dan kebudayaan.
    Salah satu perubahan terbesar yang diakibatkan oleh Injil adalah penghapusan pembedaan antara “halal” dan yang “haram”. Bagi banyak orang yang hidup dalam aneka ragam kebudayaan, pemisahan ini merupakan bagian yang integral dari cara hidup mereka. Injil mengakhiri semua pikiran bahwa ada orang yang lebih unggul dari pada orang lainnya. Kebudayaan merupakan fakta nyata dalam ciptaan, namun tidak ada alasan untuk menjadikannya dasar bagi pemecahan didalam Gereja.
    Kebudayaan merupakan pola hidup manusia dalam kelompok, jadi kebudayaan itu dihayati dan diamalkan dalam hubungan dengan sesama anggota kelompok atau komunitas. Iman sebagai relasi yang berdimensi vertikal (melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan), sedangkan kebudayaan berdimensi horisontal (melambangkan hubungan manusia dengan manusia lainnya/ sesamanya).
     
  2. INJIL DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA

 

Misi yang mengakibatkan dan bahkan menolak sama sekali kebudayaan yang menjadi konteks manusia yang menerima Injil tidak dapat dipertahankan lagi, karena kebudayaan bukan musuh Allah. Misi yang menolak kebudayaan setempat ternyata justru memaksa kebudayaan tertentu yang dianggap sebagai kebudayaan Kristen. Kebudayaan yang harus dilihat dalam pemahaman yang benar mengenai penciptaan menyatakan suatu gambaran tentang kekuasaan Allah adalah penciptaan yang berkembang menjadi bentuk-bentuk kebudayaan yang dinamis.

Penyampaian Injil baik dalam bentuk Misi maupun Gereja seharusnya mengembangkan sikap dan penghayatan yang sudah dimiliki, seperti sikap menghargai dan menghormati keunikan dan pluralism, modernisme yang bernada etnosentrisme Barat tidak dapat dipaksakan sebagai satu-satunya jalan dan tolok ukur utama bagi perkembangan Injil di suatu tempat.

Injil terdiri atas banyak pecahan kabar baik dan untuk memahaminya orang harus mendengarnya dalam bahasanya sendiri (Kisah 2:8). Meski Injil berasal dari Allah, namun perlu diingat bahwa Injil disampaikan melalui manusia (2 Korintus 4:7).

Beberapa titik pertemuan antara Injil dan budaya seperti:

  1. Akomodasi
    Didalam memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang rumit sekitar usaha mengungkapkan Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda, atau menafsirkan Injil dari perspektif kebudayaan-kebudayaan, telah dikembangkan sejumlah alat konseptual.
  2. Pempribumian
    Pengungkapan pempribumian yang paling termashyur adalah “Tiga-swa” yaitu mencukupi kebutuhan sendiri, memerintahkan diri sendiri, dan mengandalkan kemampuan sendiri (Swadaya).
  3. Inkulturasi
    Menurut anggapan pada waktu itu kebudayaan dapat diterima seadanya dan apa yang harus dilakukan hanyalah menemukan teknik-teknik yang tepat yang bagi penerjemahan. Penekanan pihak Katolik bahwa seluruh kehidupan bersifat sakramental menyebabkan Gereja tersebut cenderung lebih menekankan penjelmaan manifestasi Injil atau kehadiran Injil dari pada memproklamasikannnya secara lisan. Penerimaan perbedaan berarti bahwa iman Kristen dapat merasa di rumah sendiri dalam setiap kebudayaan. Sebagai akibatnya Kekristenan mempunyai sama banyak pusat seperti jumlah kebudayaan dari pemeluk-pemeluknya.
    Inkulturasi Injil adalah suatu keharusan dalam setiap pendekatan missioner. Kesetiaan kepada injil adalah satu-satunya sumbangan kita untuk harta bersama umat manusia. Untuk mempertemukan keduanya dalam suatu ketegangan yang permanen dan kreatif, untuk saling belajar, merupakan tantangan misi yang mendasar. Untuk tujuan itu terutama dibidang inkulturasi yang lebih peka, gereja-gereja setempat diwilayah yang sama seharusnya bekerjasama dalam persekutuan dengan gereja atau tim misi lainnya.
  4. Kontekstualisasi
    Pemahaman tentang sifat inkarnasi dari iman Kristen berkembang terus dengan kesadaran yang makin besar, sejak tahun 1950-an, tentang cara-cara komitmen politik dan tindakan sosial mempengaruhi misi Gereja dikebudayaan-kebudayaan tertentu. Kontekstualisme mengakui pengaruh timbal balik dari kebudayaan dan kehidupan sosio-ekonomi. Oleh sebab itu, di dalam mengaitkan Injil dengan kebudayaan, ia cenderung mengambil sikap yang lebih kristis terhadap kebudayaan.
               
                Cara terbaik untuk memahami pola budaya seseorang secara mendalam adalah tinggal bersama mereka, berbicara dengan mereka, berpartisipasi dengan mereka, mengamati, dan menyatu dengan kegiatan mereka sehari-hari. Dengan seperti itu kita akan mengetahui mentalitas budaya setempat, sebagaimana Allah berinkarnasi dalam diri Kristus supaya manusia dapat berkomunikasi dengan Dia dalam bahasa dan budaya yang dipahami oleh manusia itu sendiri. Demikian juga seharusnya Injil dikabarkan, yaitu Si pekabar harus menempatkan dirinya di tengah keberagaman budaya masyarakat dimanapun berada. Injil harus disampaikan dalam bahasa masyarakat setempat. Gereja sebaiknya dikelola sesuai dengan pola yang dapat dipahami oleh jemaat dan teologi harus mampu menjawab tantangan pergumulan kehidupan jemaat setempat.[2]
    Suatu kesadaran yang lebih peka atas manfaat dan kerugian memiliki identitas berdasarkan budaya adalah asasi bagi orang-orang Kristen yang berusaha hidup sesuai Injil: sikap mereka terhadap perbedaan kebudayaan etnis dapat merupakan kesaksian yang positif ataupun negative terhadap Yesus Kristus. Injil menawarkan keselamatan bagi semua orang atas dasar yang tetap sama; yaitu hanya oleh anugerah. Gereja merupakan suatu wadah yang diketahui semua orang dan membawa Injil dimanapun gereja itu ada. Gereja menjadi bagian yang hakiki dari struktur-struktur kekuasaan masyarakat, atau ia dibeli oleh kuasa-kuasa tersebut. Gereja terjerumus lagi ke modus kekuasaan umat Kristen. Keputusan politik adalah suatu tugas yang berat, seperti telah disaksikan oleh sejarah abad ke-20 pada banyak kesempatan.
    Hal ini akhirnya membawa kita pada apa yang mungkin merupakan pengatur yang paling efektif terhadap proses inkulturasi layak dan wajar, yaitu Gereja universal. Kalau gereja-gereja regional yang berlainan dapat saling mendengarkan, ada lebih banyak kemungkinan mencegah terjadinya penjinakan atau abstraksi terhadap Injil. Gereja merupakan komunitas lokal. Dalam keadaan itu, gereja memiliki mandate misi bagi situasinya yang khusus itu. Gereja harus bersatu padu dengan orang-orang disekitarnya dipanggil untuk memenuhi kebutuhan mereka dan memikul beban mereka.
    Gereja juga menjadi bagian dari persekutuan gereja-gereja, dengan manfaat dan tanggung jawab yang besar. Komunitas setempat bagaimanapun harus melibatkan diri dengan struktur-struktur nasional, regional dan internasioal yang membuatnya bertanggung jawab pada persekutuan-persekutuan yang lebih luas, yang darinya komunitas setempat menjadi wakilnya dalam arti tertentu. Dengan demikian, komunitas setempat menghayati ketegangan yang selalu ada antara yang khusus dan yang universal, yang meletakkan padanya dalam keadaan sebagai gereja.
    Inkulturasi Injil adalah suatu keharusan dalam setiap pendekatan missioner. Kesetiaan kepada injil adalah satu-satunya sumbangan kita untuk harta bersama umat manusia. Untuk mempertemukan keduanya dalam suatu ketegangan yang permanen dan kreatif, untuk saling belajar, merupakan tantangan misi yang mendasar. Untuk tujuan itu terutama dibidang inkulturasi yang lebih peka, gereja-gereja setempat diwilayah yang sama seharusnya bekerjasama dalam persekutuan satu sama lain dan dengan seluruh gereja, yakni bahwa hanya melalui perhatian baik kepada gereja universal maupun kepada gereja-gereja setempat, mereka akan sanggup menertejemahkan harta iman kedalam berbagai pengungkapan yang sah.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Andew, K. J. Apa itu Misi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

 

Elbers, Veronika J. Gereja Misioner. Malang: Literatur SAAT, 2009.

 

Stott, John. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2005.

Surbakti, E.B. Benarkah Injil Kabar Baik?. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Verkuyl, J. Etika Kristen dan Kebudayaan. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1996.


[1] J. Verkuyl, Etika Kristen dan Kebudayaan, Jakarta: (Badan Penerbit Kristen, 1996), 12-13.
[2] E.B. Surbakti, Benarkah Injil Kabar Baik?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 92.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARAKTER SORANG HAMBA TUHAN

MENUJU KEESAAN GEREJA

NATUR GEREJA